Kamis, 12 November 2009

C A R OK ! ! !


Seringkali kita mendengar sebutan Carok bagi masyarakat Madura. Memang benar karena Carok adalah kebudayaan yang terbentuk pada pembelaan harga diri ketika diinjak-injak oleh orang lain, yang berhubungan dengan harta, tahta, dan wanita. Intinya adalah demi kehormatan manusi atas dirinya sendiri. Cukup filosofis memang, tradisi Carok tersebut.

Namun, seiring dengan berkembangnya kebudayaan dan peradaban masyarakat. Masyarakat Madura pun mengalami sebuah transisi nilai budaya dengan tetap mengakarkan diri pada budaya Madura.

Perkembangan tersebut pun semakin menggeser flkutuasi Clurit yang tadinya digunakan untuk saling bacok membacok satu sama lain karena sebuah integritas dan kehormatan yang harus dipertahankan. Clurit tetap merupakan sebuah peripheral inti dalam masyarakat Madura. Untuk apa peripheral inti itu digunakan, tergantung dengan tingkat emosional dan spiritual quotien masing-masing. Oleh karenanya Madura juga merupakan salah satu penghasil Clurit ternama di wilayah nusantara.

Kemungkinan harga Clurit yang mereka dapatkan di Pasar Ahadan (pasar setiap Minggu), Pasar Sattowan (pasar setiap Sabtu, di daerah tanah merah) atau Pasar senen (di Kota Bangkalan) hanya beberapa ribu saja, tapi yang hanya beberapa ribu tersebut bisa menjadi simbol integritas dan kebanggaan mereka terhadap akar budayanya. Ketika harus kehormatan yang diobrak-abrik, mulut sudah habis kosakatanya, maka tangan dengan genggaman clurit pun mengintrepretasikan perebutan akan sebuah kehormatan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar